Lewati navigasi

Category Archives: Siraman Kalbu

Dikisahkan, Tuhan setiap saat mendengar keluh kesah, ketidakpuasan, dan penderitaan dari manusia ataupun dari makhluk lain ciptaan-Nya. Pada suatu ketika, Tuhan ingin sekali tahu bagaimana jika semua makhluk tersebut diberi kesempatan memilih hidup sekali lagi, ingin menjadi apakah masing-masing dari mereka? Maka, Tuhan pun bertanya kepada semua makhluk ciptaan-Nya.

Saat itu, tikus dengan cepat menjawab, “Jika diberi kesempatan memilih, aku ingin menjadi kucing. Enak jadi kucing, dia bisa bebas merdeka berada di dapur, disediakan makanan, susu, dan dielus-elus oleh manusia.”

Kucing pun dengan sigap menjawab, “Kalau bisa memilih, aku ingin jadi tikus. Kepandaian tikus mengelilingi lorong-lorong rumah membuat orang serumah kewalahan, dan tikus bahkan bisa mencuri makanan yang tidak bisa aku santap. Hebat sekali menjadi seekor tikus.”

Saat pertanyaan yang sama disampaikan ke ayam, ayam menjawab, “Pasti aku ingin menjadi seekor elang. Lihatlah langit di atas sana, elang tampak begitu perkasa mengepakkan sayapnya yang indah di angkasa luas, membuat semua makhluk iri, ingin menjadi seperti dirinya. Tidak seperti diriku, setiap hari mengais makanan, terkurung dan tidak memiliki kebebasan sama sekali.”
Sebaliknya, si elang segera menjawab, “Aku mau menjadi seekor ayam. Ayam tidak perlu bersusah payah terbang kesana-kemari untuk mencari mangsa. Setiap hari sudah disediakan makanan oleh petani, diberi suntikan untuk mencegah penyakit, dan ayam begitu terlindung di dalam kandang yang nyaman, bebas dari hujan dan panas.”

Saat pertanyaan yang sama diberikan pada manusia, ternyata perempuan dan lelaki pun memberikan jawaban yang beda. Si perempuan menjawab, “Saya ingin menjadi laki-laki. Pemimpin besar dan yang hebat-hebat adanya pasti di dunia laki-laki, Menjadi perempuan sangatlah menderita, harus selalu melayani, bertarung nyawa melahirkan anak, kemudian membesarkan mereka, ini adalah pekerjaan yang sangat melelahkan.”

Kaum lelaki pun tak urung ikut menjawab, “Aku mau jadi perempuan. Halus budi bahasanya, tidak perlu bekerja keras menghidupi keluarga, selalu disayang, dilindungi dan dimanjakan. Ingat, tidak ada pahlawan yang lahir tanpa seorang perempuan, surga saja ada di bawah telapak kaki ibu atau perempuan.”

Setelah mendengar semua jawaban para mahluk ciptaan-Nya, Tuhan pun memutuskan tidak memberi kesempatan untuk memilih lagi. Maka, setiap makhluk akan kembali menjadi makhluk yang sama.

Pembaca yang berbahagia,

Ada pepatah yang mengatakan, “Rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan dengan rumput di kebun sendiri.” Hal tersebut sejalan dengan kisah di atas. Memang, tak bisa dimungkiri jika manusia kadang justru lebih sering memikirkan kelebihan, kebahagiaan, dan kesuksesan orang lain. Hal ini membuat orang acap kali mengabaikan apa yang sudah dimilikinya. Tak heran, jika pikiran selalu dipenuhi dengan perasaan tersebut, maka hidup akan selalu menderita akibat terbiasa selalu membanding-bandingkan. Padahal, tahukah kita jika orang yang kita pikirkan justru mungkin berpikir sebaliknya?

Maka, dengan mampu menerima dan bersyukur apa adanya atas apapun yang kita miliki adalah kebijaksanaan. Dan, bisa ikut berbahagia melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain adalah kekayaaan mental.

Mari, cintai apa yang kita miliki, hidup pasti akan lebih berarti. Maka, kita akan bisa menyongsong kegembiraan dan kebahagiaan sejati.

Salam sukses luar biasa!!!

sumber:Andrie Wongso.com

Di pagi hari buta, terlihat seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di punggungnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke
puncak gunung yang terkenal.

Konon kabarnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di surga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya “Kek, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong kek, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk mencapai ke puncak gunung”.

Si kakek dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda,

“Ada 3 jalan menuju puncak, kamu bisa memilih sebelah kiri, tengah atau sebelah kanan?”

“Kalau saya memilih sebelah kiri?”

“Sebelah kiri melewati banyak bebatuan”. setelah berpamitan dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah si kakek.

“Kek, saya tidak sanggup melewati terjalnya batu-batuan”. “Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati kek?”

Si kakek dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya menjawab “Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?”

“Jika aku memilih jalan sebelah kanan?”

“Sebelah kanan banyak semak berduri”. Setelah beristirahat sejenak, si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si kakek.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, “Kek, aku sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama sehingga aku tidak berhasil mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali kemari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong kek tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil mendaki hingga ke puncak gunung”

Si kakek serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam dia berkata tegas “Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan buntu pun harus kamu hadapi. Selama keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua tantangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu mengerti?

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan kakek, sambil tersenyum gembira dia menjawab “Saya mengerti kek, saya mengerti! Terima kasih kek! Saya siap menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan tantangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini.
Dengan senyum puas si kakek berkata, “Anak muda, Aku percaya kamu pasti bisa mencapai puncak gunung itu!” selamat berjuang!!!

Tidak ada jalan yang rata untuk sukses!
Tidak ada jalan yang rata untuk sukses!

Sama seperti analogi Proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk meraih sukses seperti yang kita inginkan, Tidak ada jalan rata! tidak ada jalan pintas! Sewaktu-waktu, rintangan, kesulitan dan kegagalan selalu datang menghadang. Kalau mental kita lemah, takut tantangan , tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.
Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk tetap berjuang, barulah kita bisa menapak di puncak kesuksesan.

Salam sukses luar biasa !

sumber: andriewongso.com

“Miskin dan kaya adalah nasib ” ini adalah mitos yang berlaku di dalam masyarakat, khususnya di negara berkembang. Tak terkecuali di negara kita, Indonesia.

Kita sering mendengar, bahkan mungkin termasuk di antara kita pernah berucap; miskin sudah merupakan nasib kita. Bagaimanapun kita bekerja keras, nasib tidak mungkin berubah, karena ini sudah suratan takdir. Sebaliknya, kalau nasib kita sudah ditentukan dari “sononya” kaya, maka usaha apa pun, bahkan kerja “seenaknya”pun bisa menjadikan kita sukses dan kaya.

Entah sudah berapa abad umur mitos seperti ini, sadar atau tidak, sudah diterima secara dogmatis di dalam masyarakat kita. Ditambah dengan mitos-mitos modern yang destruktif, seperti; bila kita berpendidikan rendah, hanya lulusan SMA/SMP/ SD, ( bahkan S1, namun merasa hanya lulusan universitas lokal), maka spontan yang timbul di benak kita adalah kita sulit maju, sulit sukses dan kaya.

Dengan rendahnya persepsi terhadap diri sendiri seperti ini, jelas kita telah terkena penyakit mitos yang menyesatkan. Hal ini akan mempengaruhi sikap mental dalam praktek di kehidupan nyata, sehingga menghasilkan kualitas hidup “ala kadarnya” atau sekedar hidup. Jika mitos seperti ini terus menerus dipercaya dan sampai memasuki pikiran bawah sadar kita, maka mitos seperti itu akan melahirkan “nasib gagal”, dan kalau mitos negatif seperti itu dimiliki oleh mayoritas masyarakat kita, lalu bagaimana mungkin kita bisa mengentaskan kemiskinan untuk menuju pada cita cita bangsa , yaitu; masyarakat adil-makmur dan sejahtera.

Kemiskinan sering kali merupakan penyakit dari pikiran dan hasil dari ketidaktahuan kita tentang prinsip hukum kesuksesan yang berlaku. Bila kita mampu berpikir bahwa kita bisa sukses dan mau belajar, serta menjalankan prinsip-pinsip hukum kesuksesan, mau membina karakteristik positif, yaitu; punya tujuan yang jelas untuk dicapai,disiplin, mau kerja keras, ulet, siap berjuang dan semangat belajar, maka pasti akan terbuka kemungkinan-kemungkinan atau aktifitas-aktifitas produktif yang dapat merubah nasib gagal menjadi sukses. Miskin menjadi kaya!

Bangun karakter sukses!Seperti pepatah dalam bahasa Inggris “character is destiny”, kharakter adalah nasib.

Hancurkan mitos “miskin adalah nasib saya ”

Tidak peduli bagaimanapun Anda hari ini, dari keturunan siapa, berwarna kulit apa, atau apa latar belakang pendidikan Anda. Ingat, Anda punya hak untuk sukses!!!

Jadilah majikan bagi nasib diri sendiri.
Jadilah majikan bagi nasib diri sendiri
kita adalah penentu masa depan kita sendiri!

Seperti filosofi yang lahir dari kristalisasi perjuangan sepanjang kehidupan saya, yang telah terbukti yakni : Success is my right ! sukses adalah hak saya! atau arti panjangnya : Kesuksesan bukan milik orang-orang tertentu. Sukses milik Anda, milik saya, dan milik siapa saja yang benar-benar menyadari, menginginkan, dan memperjuangkan dengan sepenuh hati.

Dengan semangat dan sikap mental sukses adalah hak saya ! serta siap berjuang habis-habisan , saya yakin nasib kita pasti berubah lebih baik, karena Tuhan tidak akan tinggal diam untuk membantu kita!

Success is my right !

sumber:Andrie Wongso

Saat renovasi rumah, si empunya rumah sudah merencanakan untuk memasang sebuah lukisan potret keluarga di ruang tamu yang telah ditatanya dengan indah. Lukisan itu telah dipesannya melalui seorang seniman pelukis wajah yang terkenal dengan harga yang tidak murah. Tetapi, saat lukisan itu tiba di rumah dan hendak di pasang, dia merasa tidak puas dengan hasil lukisan dan meminta si pelukis merevisiya sesuai dengan gambar yang dibayangkan. Apa daya, setelah diperbaiki hingga ke tiga kalinya, tetap saja ada sesuatu yang tidak disukai pada lukisan tersebut sehingga setiap si pemilik rumah melintas ruang tamu, selalu timbul ketidakpuasan dan kekecewaan. Itu sangatlah mengganggu pikirannya. Menjadikan dirinya tidak senang, uring-uringan, jengkel, kecewa dan sebal dengan ruang tamunya yang indah itu. Semua gara-gara sebuah lukisan!

Suatu hari, datang bertamu satu keluarga sahabat ke rumah itu. Sahabat ini termasuk pengamat seni yang disegani di lingkungannya. Saat memasuki ruang tamu, setelah bertukar sapa dengan akrab dengan tuan rumah, tiba-tiba mereka bersamaan terdiam di depan lukisan potret keluarga itu. Si tuan rumah buru-buru menyela, “Teman, tolong jangan dipelototi begitu dong. Aku tahu, lukisan itu tidak seindah seperti yang aku mau, tetapi setelah di revisi beberapa kali jadinya seperti itu, ya udah lah, mau apalagi?” “Lho, apa yang salah dengan lukisan ini? Lukisan ini bagus sekali, sungguh aku tidak sekedar memuji. Si pelukis bisa melihat karakter obyek yang dilukisnya dan menuangkan dengan baik di atas kanvas, perpaduan warna di latar belakangnya juga mampu mendukung lukisan utamanya. Betul kan bu?” Tanyanya sambil menoleh kepada istrinya.

“Iya, lukisan ini indah dan berkarakter. Jarang-jarang kami melihat karya yang cantik seperti ini. Kamu sungguh beruntung memilikinya”, si istri menambahkan dengan bersemangat. Kemudian mereka pun asyik terlibat diskusi tentang lukisan itu.

Setelah kejadian itu, setiap melintas di ruang tamu dan melihat lukisan potret keluarga itu, dia tersenyum sendiri teringat obrolan dengan sahabatnya. Kejengkelan dan kemarahannya telah lenyap tak berbekas.

Pembaca yang budiman,

Jika sebuah lukisan tidak bisa diubah atau banyak hal lain di luar diri kita yang tidak mampu kita rubah sesuai dengan keinginan kita atau selera kita, maka tidak perlu menyalahkan keadaan! Karena sesungguhnya, belum tentu lukisan atau keadaan luar yang bermasalah, tetapi cara pandang kitalah yang berbeda. Jika kita tidak ingin kehilangan kebahagiaan maka kita harus berusaha menerima perbedaan yang ada.

Dengan merubah cara berpikir kita yang di dalam, tentu kondisi diluar juga ikut berubah.


Salam sukses luar biasa!!!

sumber:Andrie Wongso.com

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, “Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!”

“Tidak Dik, saya mau makan nasi saja,” kata si pemuda menolak.

Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, “Tidak Dik, saya sudah kenyang.”

Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, “Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om.”

Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. “Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya.”

Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.

Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, “Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?”

“Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu.”

Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. “Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh.” Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, “Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu.”

Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, “Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami.”

Teman-teman yang luar biasa,

Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.

Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

Salam sukses luar biasa!

sumber: andriewongso.com

Dikisahkan, ada seorang pedagang yang kaya raya dan berpengaruh di kalangan masyarakat. Kegiatannya berdagang mengharuskan dia sering keluar kota. Suatu saat, karena pergaulan yang salah, dia mulai berjudi dan bertaruh.

Mula-mula kecil-kecilan, tetapi karena tidak dapat menahan nafsu untuk menang dan mengembalikan kekalahannya, si pedagang semakin gelap mata, dan akhirnya uang hasil jerih payahnya selama ini banyak terkuras di meja judi. Istri dan anak-anaknya terlantar dan mereka jatuh miskin.

Orang luar tidak ada yang tahu tentang kebiasaannya berjudi, maka untuk menutupi hal tersebut, dia mulai menyebar fitnah, bahwa kebangkrutannya karena orang kepercayaan, sahabatnya, mengkhianati dia dan menggelapkan banyak uangnya. Kabar itu semakin hari semakin menyebar, sehingga sahabat yang setia itu, jatuh sakit. Mereka sekeluarga sangat menderita, disorot dengan pandangan curiga oleh masyarakat disekitarnya dan dikucilkan dari pergaulan.

Si pedagang tidak pernah mengira, dampak perbuatannya demikian buruk. Dia bergegas datang menengok sekaligus memohon maaf kepada si sahabat “Sobat. Aku mengaku salah! Tidak seharusnya aku menimpakan perbuatan burukku dengan menyebar fitnah kepadamu. Sungguh, aku menyesal dan minta maaf. Apakah ada yang bisa aku kerjakan untuk menebus kesalahan yang telah kuperbuat?”

Dengan kondisi yang semakin lemah, si sahabat berkata, “Ada dua permintaanku. Pertama, tolong ambillah bantal dan bawalah ke atap rumah. Sesampainya di sana, ambillah kapas dari dalam bantal dan sebarkan keluar sedikit demi sedikit “.

Walaupun tidak mengerti apa arti permintaan yang aneh itu, demi menebus dosa, segera dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kapas habis di sebar, dia kembali menemui laki-laki yang sekarat itu.

“Permintaanmu telah aku lakukan, apa permintaanmu yang kedua?” “Sekarang, kumpulkan kapas-kapas yang telah kau sebarkan tadi”, kata si sahabat dengan suara yang semakin lemah.

Si pedagang terdiam sejenak dan menjawab dengan sedih, “Maaf sobat, aku tidak sanggup mengabulkan permintaanmu ini. Kapas-kapas telah menyebar kemana-mana, tidak mungkin bisa dikumpulkan lagi”.

“Begitu juga dengan berita bohong yang telah kau sebarkan, berita itu takkan berakhir hanya dengan permintaan maaf dan penyesalanmu saja” kata si sakit

“Aku tahu. Engkau sungguh sahabat sejatiku. Walaupun aku telah berbuat salah yang begitu besar tetapi engkau tetap mau memberi pelajaran yang sangat berharga bagi diriku. Aku bersumpah, akan berusaha semampuku untuk memperbaiki kerusakan yang telah kuperbuat, sekali lagi maafkan aku dan terima kasih sobat”. Dengan suara terbata-bata dan berlinang air mata, dipeluklah sahabatnya.

Netter yg luar biasa

Seperti kata pepatah mengatakan, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kebohongan tidak berakhir dengan penyesalan dan permintaan maaf.
Seringkali sulit bagi kita untuk menerima kesalahan yang telah kita perbuat. Bila mungkin, orang lainlah yang menanggung akibat kesalahan kita.

Kalau memang itu yang akan terjadi , lalu untuk apa melakukan fitnah yang hanya membuat orang lain menderita.tentu… Jauh lebih nikmat bisa melakukan sesuatu yang membuat orang lain berbahagia.

Salam sukses luar biasa! Andrie Wongso.com

Dikisahkan, suatu hari saat pulang dari sekolah, tingkah si bungsu tiba-tiba menjadi pendiam, murung, dan lesu. Si ibu, walaupun sedikit khawatir tapi tahu bahwa tidak lama kemudian anaknya pasti akan bercerita kepadanya.

Malam hari saat sekeluarga bersantai, si bungsu menghampiri ibunya dengan gontai dan berkata, “Bu, tadi di sekolah aku di panggil oleh pak guru ke ruangannya. Gara-garanya begini bu. Ibu jangan marah dulu ya. Tadi ada teman cewek menangis gara-gara si Toni, temen yang sering kemari itu loh Bu, Ibu tau kan? Dia melecehkan cewek itu dengan kata-kata kotor, ceweknya nangis lapor ke guru, trus Toni dipanggil ke ruang guru. Yang hebatnya Bu, Toni bilang ke pak guru kalau aku yang ngajarin dia ngomong kotor. Aduh bu, dia benar-benar keterlaluan. Memfitnah itu namanya. Ibu nggak percaya kan kalau aku ngajarin Toni begitu? Suer Bu, aku nggak pernah begitu ke dia! Keluar dari ruang guru, di depan kelas Toni nangis-nangis Bu, nyalahin aku katanya gara-gara aku dia kena hukuman” dengan nada berapi-api si bungsu melepas uneg-unegnya.

Keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya, kasus masih berlanjut. Beberapa teman menjauhi si bungsu karena justru dia yang dituduh sebagai biang kerok, penjahat lah, penyebar fitnah, dan lain-lain. Beberapa teman pun menyalahkan si bungsu bahkan menyuruhnya minta maaf kepada Toni.

“Sungguh tidak adil ya Bu, aku yang nggak salah, kok aku yang disuruh minta maaf?” kata si bungsu mengeluh ke ibunya. Ayahnya yang diam-diam mengikuti kisah si anak, memutuskan saatnya berbicara. “Nak, kalau Kamu merasa benar, tetap pegang kebenaranmu itu. Ayah yakin, Sikap teman-temanmu itu hanyalah sementara, nanti mereka pasti tau siapa yang punya kualitas yang baik. Temanmu Toni, berbuat salah. Tidak ada salahnya Kamu memaafkan dia kan?”

“Dia sudah begitu menyakiti aku, apa untungnya memaafkan dia yah?” tanya si bungsu penasaran. “Loh, apa ruginya memaafkan dia?” jawab ayah sambil tersenyum. “Coba perhatikan. Sejak kejadian itu, setiap hari kamu ngomel melulu, sebel, marah-marah, tidak konsen belajar, tidak happy. Nah, Apa untungnya Kamu seperti itu? Dengan memaafkan Toni dan kembali bersikaplah seperti dulu lagi. Orang serumah happy, Kamu juga kembali happy, nah nggak rugi kan memaafkan itu? Damai dan nyaman semuanya.”

Pembaca yang budiman,

Kesalahan orang kepada kita, apapun bentuknya, jika terus kita simpan dan pikirkan, maka hati ini akan terasa panas adanya alias badmood. Konsen kita di pekerjaan pun pasti akan terganggu. Tiba-tiba kita menjadi mudah jengkel dan marah-marah terhadap hal lain yang mungkin tidak terkait sama sekali.

Puasa di bulan Ramadhan ini, sungguh saat tepat untuk mengingatkan kita, agar kita mampu menahan godanya nafsu, terutama amarah dan kebencian. Mari berlatih untuk memaafkan, mengampuni. Bukan sekedar lipservice, tetapi ikhlas dari lubuk hati. Agar Idul Fitri nanti menjadi momen kemenangan kita di mata Illahi. Amin.

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan

Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir Batin

sumber: ANDRIE WONGSO.COM

Dikisahkan, ada seorang pemuda berusia menjelang 30 tahun. Namun sayangnya, ia hanya memiliki kemampuan berpikir layaknya anak berumur di bawah 10 tahun. Ibunya dengan penuh kasih memelihara dan mendidik si anak agar kelak bisa hidup mandiri dengan baik, terlebih karena ia merasa anaknya punya kemampuan berpikir yang sangat minim.

Si anak sangat mencintai ibunya. Suatu hari dia berkata, “Ibu, aku sangat senang melihat ibu tertawa, wajah ibu begitu cantik dan bersinar. Bagaimana caranya agar aku bisa membuat ibu tertawa setiap hari?”

“Anakku, berbuatlah baik setiap hari. Maka, ibu akan tertawa setiap hari,” jawab si ibu. “Lantas, bagaimana caranya berbuat baik setiap hari?” tanya si anak.

“Berbuat baik adalah jika kamu bekerja, bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Bantulah orang lain terutama orang-orang tua yang perlu dibantu, sakit atau kesepian. Kamu bisa sekadar menemani atau membantu meringankan pekerjaan mereka. Perlakukanlah orang-orang tua itu sama seperti kamu membantu ibumu. Pesan ibu, jangan menerima upah ya. Setelah selesai membantu, mintalah sobekan tanggalan dan kumpulkan sesuai urutan nomornya. Kalau nomornya urut artinya kamu sudah berbuat baik setiap hari, dengan begitu ibu pun setiap hari pasti akan senang dan tertawa,” jawab si ibu sambil membelai sayang anak semata wayangnya.

Sejak ibunya meninggal, karena kenangan dan keinginannya melihat ibunya tertawa, setiap hari sepulang kerja, dia berkeliling kampung membantu orang-orang tua, kadang memijat, menimba air, memasakkan obat, atau sekadar menemani dengan senang dan ikhlas. Bila ditanya orang kenapa hanya sobekan tanggalan yang diterimanya setiap hari? Dia pun menjawab, “Karena setiap hari, setibanya di rumah, sobekan tanggalan yang aku kumpulkan, kususun sesuai dengan nomor urutnya. Maka setiap hari aku seakan bisa mendengar Ibuku sedang melihatku dan tertawa bahagia di atas sana.”

Si pemuda yang berpikiran sederhana itu telah menjadi sahabat banyak orang di desa. Sehingga suatu ketika, atas usul dari seluruh warga, karena kebaikan hatinya, dia dianugerahi oleh pemerintah bintang kehormatan dan dana pensiun selama hidup untuk menjamin tekadnya, yakni agar setiap hari bisa membantu orang lain di sisa kehidupannya.

Pembaca yang budiman,

Untuk kehidupan saat ini, memang rasanya cukup sulit untuk menemukan orang yang membantu orang lain tanpa ada keinginan untuk menerima balasan. Padahal, esensi kehidupan manusia sebenarnya adalah saling bantu membantu, menolong dan ditolong.

Padahal sebenarnya, bila kita bisa berbuat baik dan membantu orang lain sesuai dengan yang dibutuhkan, akan memberikan rasa yang nikmat sekali. Tentu, untuk berbuat baik dan membantu orang lain ini membutuhkan kesadaran, latihan, dan membiasakan diri terus menerus.

Karena itu, mari kita praktekkan pepatah sederhana ini:

Tiap hari melakukan satu kebaikan. Dengan begitu, hidup akan terasa lebih hidup, dan akan kita dapatkan kebahagiaan yang sebenarnya.
sumber: andriewongso.com

Alkisah, seorang pemuda mendatangi orang tua bijak yang tinggal di sebuah desa yang begitu damai. Setelah menyapa dengan santun, si pemuda menyampaikan maksud dan tujuannya. “Saya menempuh perjalanan jauh ini untuk menemukan cara membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang lain selalu gembira.”

Sambil tersenyum bijak, orang tua itu berkata, “Anak muda, orang seusiamu punya keinginan begitu, sungguh tidak biasa. Baiklah, untuk memenuhi keinginanmu, paman akan memberimu empat kalimat. Perhatikan baik-baik ya…”

“Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!” Kemudian, orang tua itu bertanya, “Anak muda, apakah kamu mengerti kalimat pertama ini? Coba pikir baik-baik dan beri tahu paman apa pengertianmu tentang hal ini.”

Si pemuda menjawab, “Jika bisa menganggap diri saya seperti orang lain, maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya, dengan sendirinya perasaan sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang lain, maka kegembiraan tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul, Paman?”

Dengan wajah senang, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan kata-katanya. “Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu sendiri!”

Pemuda itu berkata, ” Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan mengulurkan tangan untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan dan keinginan orang lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul, Paman?”

Dengan raut wajah makin cerah, orang tua itu kembali mengangguk-anggukkan kepala. Ia berkata, “Lanjut ke kalimat ketiga. Perhatikan kalimat ini baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!”

Si anak muda kembali mengutarakan pendapatnya, “Kalimat ketiga ini menunjukkan bahwa kita harus menghargai privasi orang lain, menjaga hak asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Sehingga, kita tidak perlu saling menyerang wilayah dan menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu. Setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai.”

Kata orang tua itu, “Bagus, bagus sekali! Nah, kalimat keempat: anggap dirimu sebagai dirimu sendiri! Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas pertanyaanmu. Kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak biasa. Karena itu, renungkan baik-baik.”

Pemuda itu tampak kebingungan. Katanya, “Paman, setelah memikirkan keempat kalimat tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif. Bagaimana caranya saya bisa merangkum keempat kalimat tersebut menjadi satu? Dan, perlu waktu berapa lama untuk mengerti semua kalimat Paman sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga gembira?”

Spontan, orang tua itu menjawab, “Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu seumur hidup untuk belajar dan mengalaminya sendiri.”

Begitulah, si pemuda melanjutkan kehidupannya dan akhirnya meninggal. Sepeninggalnya, orang-orang sering menyebut namanya dan membicarakannya. Dia mendapat julukan sebagai: “Orang bijak yang selalu gembira dan senantiasa menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang dikenal.”

Pembaca yang luar biasa,

Sebagai makhluk sosial, kita dituntut untuk belajar mencintai kehidupan dan berinteraksi dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama kita mampu menempatkan diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang lain, serta mengerti keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang proses kehidupan, maka kita akan menjadi manusia yang lentur. Dengan begitu, di mana pun kita bergaul dengan manusia lain, akan selalu timbuk kehangatan, kedamaian, dan kegembiraan. Sehingga, kebahagiaan hidup akan muncul secara alami… luar biasa!

Sumber:Andrie Wongso.com

Alkisah, disebuah kelas sekolah dasar, bu guru memulai pelajaran dengan topik bahasan, “Setiap insan adalah spesial”. Kehadiran manusia di dunia ini begitu berarti dan penting. “Anak-anakku, kalian, setiap anak adalah penting dan spesial bagi ibu. Semua guru menyayangi dan mengajar kalian karena kalian adalah pribadi yang penting dan spesial. Hari ini ibu khusus membawa stiker bertuliskan warna merah “Aku adalah spesial”. Kalian maju satu persatu, ibu akan menempelkan stiker ini di dada sebelah kiri kalian”. Dengan tertib anak-anak maju satu persatu untuk menerima stiker dan sebuah kecupan sayang dari bu guru mereka. Setelah selesai, bu guru melanjutkan “Ibu beri kalian masing-masing tambahan 4 stiker. Beri dan tempelkan 1 kepada orang yang kalian anggap spesial, sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih dan kemudian serahkan 3 stiker lainnya untuk diteruskan kepada orang yang dirasa spesial pula olehnya, begitu seterusnya. Mengerti kan…….”.

Sepulang sekolah, seorang murid pria mendatangi sebuah kantor, diapun memberikan stikernya kepada seorang manajer di sana. “Pak, bapak adalah orang yang spesial buat saya. Karena nasehat-nasehatpak berikan, sekarang saya telah menjadi pelajar yang lebih baik dan bertanggung jawab. Ini ada 3 stiker yang sama, bapak bisa melakukan hal yang sama, memberikannya kepada siapapun yang menurut bapak pantas menerimanya”.

Lewat beberapa hari, manajer tersebut menemui pimpinan perusahaannya yang emosional dan sulit untuk didekati. Tetapi mempunyai pengetahuan yang luas dan telah memberi banyak pelajaran hingga dia bisa menjadi seperti hari ini. Awalnya sang pemimpin terkesima, namun setelah mengetahui alasan pemberian stiker itu, dia pun menerimanya dengan haru. Sambil mengangsurkan si manajer berkata,”Ini ada 1 stiker yang tersisa. Bapak bisa melakukan yang sama kepada siapapun yang pantas menerima rasa sayang dari bapak”. Sesampai di rumah, bergegas ditemui putra tunggalnya. “Anakku, selama ini ayah tidak banyak memberi perhatian kepadamu, meluangkan waktu untuk menemanimu. Maafkan ayahmu yang sering kali marah-marah karena hal-hal sepele yang telah kamu lakukan dan ayah anggap salah. Malam ini, ayah ingin memberi stiker ini dan memberitahu kepadamu bahwa bagi ayah, selain ibumu, kamu adalah yang terpenting dalam hidup ayah. Ayah sayang kepadamu”. Setelah kaget sesaat, si anak balas memeluk ayahnya sambil menangis sesenggukan. “Ayah, sebenarnya aku telah berencana telah bunuh diri. Aku merasa hidupku tidak berarti bagi siapapun dan ayah tidak pernah menyayangiku. Terima kasih ayah”. Mereka pun berpelukan dalam syukur dan haru serta berjanji untuk saling memperbaiki diri.

Pembaca yang luar biasa,
Kehidupan layaknya seperti pantulan sebuah cermin. Dia akan bereaksi yang sama seperti yang kita lakukan. Begitu pentingnya bisa menghargai dan menempatkan orang lain di tempat yang semestinya. memuji orang lain dengan tulus juga merupakan ilmu hidup yang sehat, bahkan sering kali pujian yang diberikan disaat yang tepat akan memotivasi orang yang dipuji, membuat mereka bertambah maju dan berkembang, dan hubungan diantara kitapun akan semakin harmonis, mari kita mulai dari diri kita sendiri, belajar memberi pujian, menghormati dan memperhatikan orang lain dengan tulus dengan demikian kehidupan kita pasti penuh gairah, damai dan mengembirakan.


Salam sukses luar biasa!

Sumber:Andrie Wongso.com